“you are the reason why I wash my hair and paint my nails”
_unknown
Hai kamu yang lambat laun mulai menjadi bayang. Aku tak punya banyak alasan
untuk menahanmu pergi. Kau bukan lagi kau yang dulu pernah bersama ku. Yang indah
saat dipandang, yang terindukan saat hilang.
Mungkin aku penyebab banyaknya perkara yang menancap bertubi-tubi
dalam kisah kasih kita. Mungkin aku yang membuat jalan lurusmu menjadi berliku
dan penuh tantangan. Mungkin aku yang tak pernah punya cukup sabar untuk
sekedar menunggumu. Mungkin aku…. Mungkin aku…
Kau tak perlu mengingatkanku bagaimana cahaya rumah kita kian hari
kian padam. Aku tahu, bahkan mengingatnya tiap hari. Aku terlalu asik bermain
api di rumah tetangga hingga lupa menjaga hangatnya rumah kita. Tapi kau harus
tau. Aku merasa rumah itu sudah tak berpenghuni. Aku kira, kau tak pernah datang
lagi. Aku menduga banyak hal ketika kau pergi.
Hai kamu yang bermata coklat tempatku bersendu. Aku tak pernah
memiliki tempat lain untuk lari selain dirimu. Jadi jika kau hilang, matilah
setengah jiwaku. Dan aku tau, harusnya aku bahagia jika kau kembali menjagaku. Tapi
sayangku, kau tak pernah belajar dari kata terlambat. Terlambat memberi kabar. Terlambat
berpamitan. Terlambat datang kembali.
Hai kamu kenangan manis yang terlalu indah untuk diceritakan, dan
terlalu sakit untuk ku kenang. Pernah kah kau berfikir bahwa sekali kau
meletakan hatimu pada mawar lain, maka layu lah seluruh taman kita. Aku berusaha
menanam kembali setiap bunga yang dulu kau siram. Tapi aku tak cukup kuat memberi
kehidupan pada rapuhnya jiwa yang mulai hilang. Akhirnya, aku tahu bagaimana
sakitnya menjadi yang kedua. Maka dalam setiap doa ku, aku meminta maaf padamu.
Hai kamu yang dulu pernah berjanji akan menjagaku dan bertanggung
jawab atas setiap tetes air mataku, dimana kamu saat aku butuh bahu untuk
bersandar, tangan untuk mengusap keningku, atau menyeka airmataku? Apakah aku
terlalu naif menunggu mu yang entah ada dibelahan bumi mana dan mungkin kau
telah menjadi penjaga dari ratu baru mu?
Hai kamu yang kembali datang dengan penuh cinta. Aku tak pernah
berfikir bahwa kita akan semenderita ini. Kau terlihat sempurna. Membuat aku,
memaksa aku, untuk memiliki mu sutuhnya, sekali lagi. Tapi aku lupa, bahwa
derita akan mengajarkan kita dua hal, yaitu rasa sakit yang membuat kita kuat
dan goresan luka yang tidak akan pernah sembuh meski berkali kali kau
mengobatinya.
Hai kamu yang dulu begitu lembut padaku. Mungkin kita sudah berada
dalam jurang pemisah. Berhentilah berkata semua akan baik-baik saja. Karna aku
tahu bahwa kita tidak pernah dan tidak akan pernah baik-baik saja. Maafkan aku
memisahkanmu dengan cinta yang belum sempat kau ikat. Jika saja ku tahu kau
begitu menginginkannya, tak kan ku biarkan lisan ini menyakitinya. Kau mungkin
tak mampu lagi memulai dari awal dengannya. Tapi aku tahu satu hal sekarang,
kau mampu memulai ceritamu meski bukan dengan ku. Untuk itu, walapun aku
terluka mengatakan ini, aku harus merelakan kau memanjakan wanitamu. Hak yang
harusnya kumiliki dari dulu. Biarlah kita meregang dalam sakit menimbun
kenangan. Tapi jika dimasa yang akan datang kita mampu bahagia, maka kita
pantas merasakan tangis ditinggalkan dan meninggalkan.
Hai kamu yang tak mampu lagi ku sentuh. Aku melepasmu dengan senyum
ihklasku. Berbahagialah seperti dulu. Jika terluka, jangan temui aku. Kau harus
mampu mengobati sendiri sakitmu. Seperti aku pun akan begitu.
Hai kamu, (yang dulu) matahariku. Terimakasih atas segala tawa dan
tangis haru yang kita lalui bersama. Semoga tidak hanya aku yang masih merindu.
Semoga kita mampu menahan rindu-rindu itu. Aku sayang kamu. Maka kulepaskan kamu
untuk menemui hidup baru mu.
Terimakasih.